Wali Hakim dalam Nikah
Pertanyaan 1:
saya telah menikah dengan suami saya secara siri dan yang menikahkan kami adalah wali hakim. Sah kah pernikahan saya dengan suami saya ustad…?
Email: chint******[email protected]
Pertanyaan 2:
saya dengan dia nikah sirih tanpa wali orang tua laki2 , walinya wali hakim dan saksi 2 orang teman saya, karna orang tuanya tidak setuju dengan saya, bagaimana menurut pandangan pak ustadz apakah sah atau tidak pernikahan saya ini!
Email : ron******[email protected]
Pertanyaan 3:
Status kakak saya janda dari suami yg ke-4, kemudian dia menikah lg dg mantan suami yg ke-3 secara siri dengan wali hakim tanpa sepengetahuan saya sebagai walinya yg sah, mengingat bapak dan paman saya telah meninggal dunia.
chol****@gmail.com
Komentar konsultasisyariah.com
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Ada beberapa pertanyaan yang mampir di meja redaksi konsultasisyariah.com yang kasusnya seperti di atas. Kami sebutkan dua saja, dan semoga itu sudah mewakili.
Pertanyaan ini menggambarkan bagaimana pemahaman sebagian masyarakat di tempat kita tentang apa itu wali hakim? Dan siapa yang berhak disebut wali hakim?. Agar kita bisa memahami lebih baik, kami utarakan secara bertahap sebagai berikut,
Pertama, wali nikah merupakan rukun dalam akad nikah
Keberadaan wali merupakan rukun dalam akad pernikahan. Karena itu, tidak sah menikah tanpa wali. Terdapat banyak dalil yang menunjukkan kesimpulan, ini, diantaranya,
Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
“Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Abu Daud 1785, Turmudzi 1101, dan Ibnu Majah 1870).
Dari Aisyah radhiallahu anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
“Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal. (HR. Ahmad 24205, Abu Daud 2083, Turmudzi 1021, dan yang lainnya).
Dan keberadaan wali dalam akad nikah, merupakan salah satu pembeda antara nikah yang sah dengan transaksi prostitusi. Dalam transaksi zina, seorang WTS menikahkan dirinya sendiri tanpa wali, sementara harga bercinta dengannya menjadi mahar baginya.
Kedua, tidak semua orang menjadi wali.
Allah menghargai hubungan kekeluargaan manusia. Karena itu, kelurga lebih berhak untuk mengatur dari pada orang lain yang bukan kerabat. Allah berfirman,
وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Anfal: 75)
Bagian dari hak ’mengatur’ itu adalah hak perwalian. Karena itu, kerabat lebih berhak menjadi wali dibandingkan yang bukan kerabat. Lebih dari itu, kerabat yang berhak menjadi wali juga ada urutannya. Sehingga orang yang lebih dekat dengan wanita, dia lebih berhak untuk menjadi wali bagi si wanita itu.
Urutan kerabat ayah yang berhak menjadi wali nikah, dijelaskan Al-Buhuti berikut,
ويقدم أبو المرأة الحرة في إنكاحها لأنه أكمل نظرا وأشد شفقة ثم وصيه فيه أي في النكاح لقيامه مقامه ثم جدها لأب وإن علا الأقرب فالأقرب لأن له إيلادا وتعصيبا فأشبه الأب ثم ابنها ثم بنوه وإن نزلوا الأقرب فالأقرب
Lebih didahulukan bapak si wanita (pengantin putri) untuk menikahkannya. Karena bapak adalah orang yang paling paham dan paling menyayangi putrinya. Setelah itu, penerima wasiat dari bapaknya (mewakili bapaknya), karena posisinya sebagaimana bapaknya. Setelah itu, kakek dari bapak ke atas, dengan mendahulukan yang paling dekat, karena wanita ini masih keturunannya, dalam posisi ini (kakek) disamakan dengan bapaknya. Setelah kakek adalah anak si wanita (jika janda), kemudian cucunya, dan seterusnya ke bawah, dengan mendahulukan yang paling dekat. (Ar-Raudhul Murbi’, hal. 1/100)
Dan tidak boleh kerabat yang lebih jauh menjadi wali nikah sementara masiha ada kerabat yang lebih dekat. Karena semacam ini sama halnya dengan merampas hak perwalian, sehingga nikahnya tidak sah.
Al-Buhuti mengatakan,
وإن زوج الأبعد أو زوج أجنبي ولو حاكما من غير عذر للأقرب لم يصح النكاح لعدم الولاية من العاقد عليها مع وجود مستحقها
Jika wali yang lebih jauh menikahkannya, atau orang lain menjadi walinya, meskipun dia hakim (pejabat KUA), sementara tidak ada izin dari wali yang lebih dekat maka nikahnya tidak sah, karena tidak perwalian ketika proses akad, sementara orang yang lebih berhak (untuk jadi wali) masih ada.” (Ar-Raudhul Murbi’, 1/10)
Ketiga, kapan wali hakim berperan?
Dalam hadis dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِنْ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ
Jika terjadi sengketa antara mereka, maka penguasa menjadi wali untuk orang yang tidak memiliki wali. (HR. Ahmad 24205, Abu Daud 2083, Turmudzi 1021, dan yang lainnya).
Dr. Ahmad Rayan mengatakan,
إن للسلطان دورًا في التزويج, ولكنه يأتي بعد الولاية الخاصة
”Penguasa punya hak untuk menikahkan, namun setelah tidak adanya wali khusus (kerabat).” (Fiqih Usroh, hlm. 115).
Berdasarkan hadis dan keterangan di atas, maka penguasa, dalam hal ini pejabat negara yang bertugas mengurusi pernikahan, berhak menjadi wali nikah, jika wali khusus, yaitu kerabat tidak ada yang memenuhi syarat.
Sebagai contoh, anak dari hasil hubungan zina tidak memiliki bapak nasab. Bapak biologis bukanlah bapaknya. Karena itu, tidak boleh dinasabkan ke bapak biologisnya. Dengan demikian, dia tidak memiliki keluarga dari pihak bapak. Siapakah wali nikahnya? Jika pengantin wanita tidak memiliki anak, wali nikahnya adalah hakim.
Selanjunya, Siapa Wali Hakim?
Dalam hadis A’isyah di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut wali hakim dengan Sulthan [arab: السُّلْطَانُ], yang artinya penguasa.
Ibnu Qudamah mengatakan,
السلطان في ولاية النكاح هو الإمام أو الحاكم أو من فوضا إليه ذلك
Sulthon dalam perwalian nikah adalah pemimpin, hakim atau orang yang dipasrahi untuk menangani masalah pernikahan. (al-Mughni, 7/17).
Di negara kita, pemerintah telah membentuk KUA sebagai petugas resmi yang menangani masalah pernikahan. Sehingga dalam hal ini, pejabat resmi KUA merupakan hakim yang berhak menjadi wali pernikahan, ketika wali kerabat tidak ada, atau terjadi sengketa.
Dengan demikian, siapapun yang TIDAK berstatus sebagai pejabat resmi KUA atau yang sepadan dengannya dalam hirarki pemerintahan, dia tidak bisa disebut sebagai wali hakim.
Kiyai, Ustad, guru ngaji, apalagi teman, tidak bisa disebut wali hakim. Termasuk juga pejabat KUA yang datang atas nama pribadi, bukan atas nama instansi, TIDAK bisa disebut sebagai wali hakim. Karena yang berstatus sebagai wali hakim adalah pejabat terkait yang datang resmi atas nama LEMBAGA dan BUKAN atas nama PRIBADI.
Jika mereka tetap nekat mengajukan diri menjadi wali, maka statusnya wali gadungan dan tidak sah menjadi wali. Dengan demikian, pernikahan yang dilakukan adalah pernikahan tanpa wali dan itu statusnya tidak sah.
Pertanyaan yang Unik
Berdasarkan keterangan di atas, seseorang TIDAK mungkin bisa menikah dengan wali hakim, kecuali pernikahan yang resmi dan tercatat. Artinya, TIDAK mungkin ada orang yang melakukan nikah siri dengan wali hakim.
Karena itu, ada bagian yang unik dari pertanyaan di atas, yaitu kalimat, ”nikah sirih dengan wali hakim”. Ini kalimat yang bertentangan, karena yang namanya nikah siri pasti tidak tercatat, dan tidak mungkin dilakukan dengan wali hakim.
Sehingga bisa dipastikan, wali hakim yang disebutkan dalam pertanyaan BUKAN petugas resmi KUA, atau dengan kata lain wali gadungan.
Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/21785-siapakah-wali-hakim-dalam-nikah.html